Sebuah cerita yang terinspirasi dari grup lawak favorit saya, Warkop DKI, dalam film “Dongkrak Antik”.

Pukul 16.20 WIB, pesawat Air Force One mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma. Lalu turunlah Barack Obama beserta istri, Presiden Amerika Serikat, yang pernah tinggal di Indonesia.

Setelah melangkah turun dan memberikan lambaian tangan kepada “fans” dia di negeri ini, Obama pun lantas masuk Presidential Car Suite. Mobil kepresidenan AS yang konon tahan bazoka dengan ban anti bocor. Tapi,enggak tahan penyok sehingga jalan protokol di Jakarta harus disterilkan agar tak ada metromini yang menyerobot jalur dan berisiko membuat mobil presiden negara adi daya itu lecet-lecet.

Di dalam mobil, Barack dan Michelle Obama ditemani seorang penterjemah lokal, Si Ontohod. Dia terpilih karena memenangi lomba “Andai Aku Obama” yang diselenggarakan US Embassy. Jawabannya yang begitu lugu membuat pihak Kedubes AS yakin dirinya bukanlah ancaman serius bagi presidennya.

“Andai aku Obama, aku akan mencari teman-teman masa kecilku di Indonesia. Kucari beberapa teman yang sering memanggilku ‘Item lu… Item lu..’ saat masih duduk di bangku SD. Mereka akan kupanggil ke Istana Negara dan disuruh berdiri di sudut ruangan dengan satu kaki diangkat dan kedua tangan memegang telinga di hadapan pejabat dan disiarkan ke seluruh Indonesia.” Itulah jawaban Ontohod sehingga memenangi kuis yang hadiahnya adalah menjadi translator Obama.

Ontohod tetap pe-de meski bermodal bahasa Inggris pas-pasan. “Ah, Obama kan pernah di Indonesia. Bisalah dia kalau saya jawab dengan sedikit-sedikit bahasa sini,” jelasnya saat ditanya teman-teman dia di Kampung Sindangrasa.

Singkat cerita, Si Ontohod kini sudah berada satu mobil dengan Obama. Dalam perjalanan dari Halim menuju Istana Negara, Obama terkagum-kagum dengan perkembangan tanah air yang ditinggalkannya lebih dari empat dekade lampau.

Orang paling populer di dunia pada akhir 2008 itu lantas mencoba mencairkan suasana. “I love this country,” buka Obama. “Thank you, Sir. Terima kasih,” balas Ontohod.

Si Ontohod dan Obama

(Obrolan antara selanjutnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia 100 persen karena keterbatasan vocabulary Si Ontohod)

“Pembangunan Indonesia sudah demikian pesat ya? Sewaktu aku pergi, jalan tol ini belum ada,” tutur Obama kepada istrinya. “Berapa lama kalian membangunnya?”

“Wah, saya juga baru ke Jakarta, Tuan. Tapi dari pelajaran IPS waktu SD, jalan tol dalam kota ini dibangun selama 4-5 tahun pada masa pemerintahan Soeharto,” jawab Si Ontohod.

“Ah, terlalu lama itu. Di Amrik sana, paling banter 4-5 bulan untuk membangun jalan raya yang menghubungkan dua kota,” kritik Obama, halus.

Si Ontohod hanya terdiam. Dia tak tahu harus membalas apa karena dirinya memang buta dengan pembangunan di Jakarta, yang hanya sering dilihatnya lewat layar kaca dan layar tancap dalam film-film Warkop yang kerap diputar setiap ada hajatan di kampungnya.

Selang beberapa detik, Obama melihat Menara Jamsostek. “Dulu gedung yang kukenal hanyalah Sarinah. Kalah tinggi dibandingkan bangunan ini. Menara Jamsostek,” baca Obama pada rentetan huruf yang berada di depan gedung tersebut. “Berapa lama kalian membangun gedung ini?”

“Sekitar tiga tahun, Tuan,” terang Si Ontohod sekenanya lantaran tak tahu pasti lama pembangunan gedung tersebut. “Wah, lama sekali. Di negeri kami, paling lama satu bulan!” tegas Obama.

Keterangan Obama sedikit membuat Si Ontohod kesal. Bagaimanapun, dia tak suka kemampuan negaranya direndahkan oleh orang asing. Meski berasal dari desa, Si Ontohod bukanlah seperti stereotipe orang Indonesia kebanyakan. Dia tak mau menundukkan kepada orang bule (baca: ekspatriat). “Kedudukan manusia di mata Tuhan itu sama,” jawab dia sok berfilosofi ketika ditanya alasan dari sikapnya itu.

Kendati demikian, Si Ontohod juga bakal malu jika harus dibeberkan penyebab utama lamanya pembangunan Menara Jamsostek. Pasalnya, bangunan tersebut dibangun dari uang hasil (dugaan) korupsi. “Wajar saja lama. Lha wong uang yang seharusnya buat beli semen, malah dipakai foya-foya dulu bagi oknum-oknum koruptor,” gumamnya dalam hati.

Presidential Car Suite terus berjalan membelah Jakarta yang lengang. Selepas Sudirman dan memasuki MH Thamrin, Obama kagum bukan main. Hotel Indonesia yang dilihatnya pada masa kecil sudah jauh berbeda. Berganti dengan bangunan “One Stop Entertainment & Pleasure” dengan menggabungkannya dengan pusat hiburan.

“Meski nilai asli artistiknya sudah jauh berkurang, pengembangan Hotel Indonesia ini sungguh indah. Berapa lama kalian memugarnya?” tanya Obama penasaran mengenai bangunan yang diarsiteki Abel Sorensen itu.

“Wah, Tuan… Saya juga kaget. Karena pas kemarin saya sampai Jakarta dan dipanggil menuju istana dengan melalui jalan ini, Hotel Indonesia masih sama seperti yang Tuan lihat dulu, berwarna hijau. Hanya dalam semalam, tiba-tiba sudah seperti ini,” jawab Si Ontohod dengan lantang karena merasa bangga dengan jawabannya.

Mimik wajah Obama berubah. Heran bercampur kesal. Namun, dia tak punya kesempatan lagi untuk menyerang balik Si Ontohod karena mobil yang membawanya sudah masuk ke pelataran Istana Negara dengan iringan lagu “Mentari Bersinar” yang dipopulerkan koleganya dari Indonesia. Sebuah lagu yang sungguh tak sesuai karena langit Jakarta diguyur hujan.