iPad menjadi fenomena baru di dunia gadget global. Laiknya produk keluaran Apple lainnya, iPad menjadi breakthrough dan langsung menjadi trendsetter.

Termasuk juga di Indonesia. Dengan penduduk banyak yang “latah”, iPad dengan mudah menjamur dan seolah menjadi indikator status sosial yang baru. Enggak gaul kalau enggak punya iPad. Produk tersebut seolah menggeser peran netbook yang biasanya sering dibawa orang-orang untuk melakukan beragam aktivitas.

Terkait dengan fenomena tersebut, saya teringat sentilan seorang kawan. “Andai diluncurkan sebelum iPhone, akankah iPad menjadi hype seperti sekarang ini?” tanyanya di sebuah situs microblogging.

Pertanyaan yang sebenarnya retoris itu bisa jadi memang demikian adanya. Ketika pertama kali muncul, iPhone langsung menjadi fenomena di bidang ponsel. Tapi kemudian seolah tertelan ketika “adiknya” iPad muncul.

Padahal, secara fasilitas, tak berbeda jauh. Dengan zaman yang semakin mengagungkan simplicity dan ukuran mini, seharusnya iPhone bisa lebih meledak jika diluncurkan setelah iPad.

Lantas, apa kaitannya produk keluaran Apple itu dengan Liga Primer Indonesia?

Liga Primer Indonesia atau disingkat LPI adalah sebuah terobosan baru dalam sepak bola di negeri ini. Penggagasnya adalah Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Indonesia (GRSNI) dan tentu saja Arifin Panigoro. Keinginan GRSNI dan Arifin melihat sepak bola di negeri ini maju menjadi awal ide pembentukan LPI yang mengedepankan profesionalisme dan kemandirian.

Ketika ide profesionalisme dan kemandirian itu lahir, tentangan dari PSSI selaku otoritas sepak bola tertinggi di negeri ini juga muncul. Namun, sebenarnya penolakan PSSI sendiri terlihat tak punya dasar kejelasan.

“Keinginan mereka (LPI) kami sambut baik. Kami sambut dengan senang hati bila tujuannya demi kemajuan sepak bola Indonesia. Kalau menggelar kompetisi, kami tidak akan merestui sebab PSSI hanya mengakui Indonesia Super League (ISL) sebagai kompetisi yang resmi,” ucap Nurdin. Sebuah penjelasan yang menurut saya ambigu.

Sebenarnya, publik sudah bisa melihat keengganan PSSI menolak LPI. Sebab, tokoh di belakang LPI adalah Arifin Panigoro. Sosok yang disebut-sebut beberapa kalangan pantas memimpin PSSI. Nah, dari situlah (mungkin) muncul sikap defensif dari Nurdin.

Tak ingin statusnya sebagai Ketua Umum PSSI goyah, Nurdin berupaya dengan segala cara untuk memutus sepak terjang Arifin di sepak bola Indonesia. Salah satunya adalah dengan melarang LPI.

Lalu, kembali ke soal pertentangan iPad dan iPhone, akankah situasi ini sebenarnya tak perlu terjadi andai isu pencalonan Arifin sebagai Ketua Umum PSSI tak muncul? Apakah mungkin PSSI akan menyetujui LPI jika Arifin hanyalah dikenal sebagai petinggi Medco Energy, bukan sosok yang punya keinginan memajukan sepak bola Indonesia (dengan menjadi Ketua Umum PSSI)?

Jawabannya bisa jadi. Seperti halnya fenomena produk keluaran Apple, iPhone bisa saja lebih hype dibandingkan iPad jika diluncurkan belakangan.

Demikian pula dengan LPI. Bisa jadi kompetisi itu akan mendapatkan persetujuan dari PSSI andai isu pencalonan Arifin tak muncul.

Intinya, semua itu kembali kepada masalah ego dari masing-masing individu. Nurdin jelas tak ingin statusnya sebagai Ketum PSSI mengalami goncangan karena muncul liga tandingan yang (dianggap) bakal lebih baik. Egonya mulai terusik dan melahirkan naluri defensif yang tinggi.

Sementara Arifin, tentu sudah gerah melihat ketidakadilan yang masih sering terjadi di sepak bola negeri ini. Ego dia untuk melihat secepatnya perbaikan tak bisa dibendung lagi.

Solusinya jelas kembali mempersatukan dua ego yang terpolarisasi ke kutub berbeda. Tapi, mungkinkah itu terjadi? Dari sisi Arifin, saya masih melihat adanya kemungkinan itu. Tapi, dari sisi Nurdin, tampaknya hampir mustahil terjadi.

Sebagai orang yang sudah lama duduk di kursi empuk, tentu Nurdin tak mau lepas dari zona nyaman yang telah diciptakannya sendiri. Selain keras kepala, Nurdin seolah tak punya telinga untuk mendengarkan keluhan hingga kritikan masyarakat terhadap perkembangan sepak bola di negeri ini.

Sikap keras kepala juga dimiliki oleh Steve Jobs, pendiri Apple. Dia tentu punya pertimbangan keras kenapa iPad dan iPhone dirilis pada waktu berbeda, karena toh secara teknologi (diyakini) diuji bersama-sama. Jobs juga sangat keras kepala untuk tidak memakai software dari pihak ketiga pada produk-produknya untuk sekian lama. Dia merasa setiap produk Apple keluarannya sudah terintegrasi untuk melakukan segala hal hingga tak perlu “bantuan” dari pihak ketiga.

Namun, mulai November ini, sikap keras kepala Jobs mulai meluntur. Dia mulai mau menerima perangkat lunak dari pihak ketiga. Adobe dan Flash (melalui SkyFire) akhirnya bisa menembus daftar aplikasi di App Store milik Apple.

Jika Jobs yang merasa produknya sempurna mau menerima bantuan dari pihak ketiga, akankah Nurdin melakukan hal yang sama dengan menerima bantuan Arifin untuk membantu penciptaan sepak bola nasional yang lebih baik?

Kita tunggu saja sambil mengoprek iPad atau iPhone bagi yang punya. Kalau saya sih, meneruskan mimpi untuk bisa membeli dua gadget tersebut. (Eh, apakah ini juga berarti saya meneruskan mimpi untuk melihat NH dan AP berjabat tangan? hehehe…)