Peluit tanda panjang telah dibunyikan. Kegembiraan para pemain di atas lapangan, menulari ke seisi stadion. Euforia pun merembet hingga ke seluruh Indonesia.

Minggu (19/12), Indonesia memastikan satu tempat di final Piala AFF 2010. Memang, itu bukanlah sebuah prestasi mengingat Tim Merah Putih telah empat kali melakukannya. Tapi, tetap saja patut diapresiasi.

Langkah timnas Indonesia menuju partai puncak kejuaraan antarnegara Asia Tenggara itu tidaklah mudah. Diawali dengan kekalahan telak dari Uruguay – yang sempat mengancam karier pelatih Alfred Riedl, hingga ketidakyakinan dari masyarakat akibat persiapan minim timnas yang selama sebulan. Terbukti, baru pada laga melawan Thailand jumlah suporter yang hadir ke stadion mengalami lonjakan luar biasa.

Penampilan gemilang di Piala AFF 2010 plus fenomena sosok Irfan Bachdim menimbulkan “Demam Timnas” di kalangan masyarakat. Mereka yang asalnya bersikap skeptis, mulai mau membaca berita terkait timnas. Mereka yang mulanya hanya memerhatikan via layar kaca, mulai tertarik untuk datang langsung ke stadion.

Sayangnya, antusiasme masyarakat yang ingin memberikan dukungan langsung kepada Firman Utina dkk di stadion itu tampaknya tak diantisipasi dengan baik oleh PSSI. Selaku otoritas sepak bola tertinggi di tanah air dan panitia lokal penyelenggaraan, PSSI bisa dikatakan gagal dalam menyikapi performa gemilang timnas. Saya sebut demikian karena segala aktivitas sepak bola di negeri ini, kecuali Liga Primer Indonesia (mungkin), pasti PSSI-lah yang bertanggung jawab.

Pendistribusian tiket menjadi contoh nyata. Terutama menjelang laga semifinal kedua melawan Filipina. Ketiadaan informasi yang jelas dari PSSI membuat masyarakat yang ingin membeli tiket kecewa berat. Penurunan bendera dan pengrusakan papan nama PSSI pada Sabtu (18/12) merupakan puncak kekecewaan masyarakat kepada lembaga yang dipimpin oleh Nurdin Halid itu.

Mekanisme pendistribusian tiket yang membingungkan menjadi noktah kecil yang mengganggu kecemerlangan timnas di Piala AFF 2010. (Foto: Dok. SOCCER)

Okelah panitia penyelenggara lokal berdalih dengan menyebutkan penutupan loket satu hari menjelang pertandingan itu untuk menghindari lonjakan pembelian tiket yang bisa menyebabkan overquota. Namun anehnya, pada Hari H pertandingan, jumlah suporter yang masuk benar-benar melebihi kapasitas stadion.

Bayangkan saja, beberapa penonton untuk kategori VIP Barat, sampai-sampai merambah ke tempat media. Hingga beberapa wartawan terganggu dalam proses pembuatan berita.

Tentunya, bukan proses “aneksasi” itu yang dikeluhkan para rekan media. Namun, jelas ada yang salah dengan proses penyaringan penonton yang masuk. Bagaimana mungkin, tribun VIP – berada di depan tribun media – yang jelas-jelas diketahui jumlah kursinya, bisa dibanjiri penonton melebihi kapasitasnya? Akibatnya, banyak yang terpaksa berdiri di lorong atau selasar antarkursi.

Pasti ada yang salah. Bisa dari pihak penyelenggara maupun pihak keamanan yang dengan longgar memberikan izin masuk bagi suporter yang telah “berdamai” dengannya.

Kejadian di beberapa sektor lain pun sama. Para pemilik tiket, jangankan dapat tempat duduk, untuk masuk ke tribun saja sudah tak mungkin. Di tribun Kategori II di belakang gawang utara misalnya. Seorang teman hanya bisa berdiri di lorong masuk tangga menuju tribun, tanpa bisa bergerak karena di depannya pun sudah tak mungkin untuk maju.

Mekanisme pendistribusian tiket yang tidak jelas menjadi penyebab lain. Pembelian tiket online dan manual secara langsung pun tidak ada bedanya. Beredarnya beberapa tiket compliment yang dijual kembali pun membuktikan kebocoran yang terjadi.

Sebagai orang awam soal pendistribusian tiket, saya cuma bisa menganalisis seperti ini. Misalkan, kapasitas Gelora Bung Karno 90 ribu dan tiket yang dilepas ke pasaran juga sebanyak itu, tentunya setiap pemegang tiket setidaknya akan kebagian tempat duduk untuk meletakkan pantat ketika menyaksikan laga. Nyatanya, banyak sekali yang menyaksikan laga dengan berdiri di tempat yang tidak semestinya.

Kejadian ini tentunya sangat disayangkan. Memang, kekecewaan tersebut bisa saja tersapu oleh euforia prestasi timnas di lapangan. Membludaknya jumlah masyarakat yang ingin menonton langsung laga timnas juga mungkin bukanlah kejadian rutin yang terjadi tiap tahun. Tapi akibat jangka panjangnya, sebagian dari mereka bisa saja kapok untuk menonton langsung pertandingan jika tak dilayani dengan baik oleh PSSI.

Terlepas dari nama buruk yang sudah lama disandang, PSSI dalam penyelenggaraan Piala AFF 2010 ini punya catatan negatif yang demikian besar. Tidak profesional! Jika mengurusi tiket satu pertandingan saja tidak becus, bagaimana mungkin bisa mengurus sebuah liga yang diikuti oleh klub dari Sabang sampai Merauke? Jika mengurus tiket saja bisa bocor, bagaimana bisa mengurus miliaran rupiah dana yang masuk ke kas yang seharusnya digunakan untuk memajukan sepak bola di negeri ini?