“In normal times, evil would be fought with good. But in times like these, well, it should be fought by another kind of evil”

Aereon dan Riddick/The Chronicles of Riddick

Saya setuju dengan ucapan Aereon – diperankan oleh Judy Dench – di film The Chronicles of Riddick yang dibintangi juga oleh Vin Diesel itu. Setidaknya, untuk lingkup PSSI (baca: Nurdin Halid dan antek-anteknya).

Mengapa demikian? Jika ingin menurunkan Nurdin Halid melalui cara normal, yang dibutuhkan adalah suara dari para klub di Liga Indonesia, para pengurus daerah (pengda) di tiap provinsi, dan pengurus cabang (pengcab) di setiap daerah tingkat II. Nah, saya sangat tidak yakin cara seperti ini akan membuat Nurdin turun dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI.

Ketidakyakinan saya itu berdasar pada sikap pengda dan pengcab PSSI saat melakukan Kongres Luar Biasa di Bandung, Februari lalu. Mereka secara aklamasi masih percaya Nurdin sebagai ketua umum.

Saya punya dua prediksi alasan para pengda dan pengcab itu tetap percaya Nurdin. Pertama, bisa jadi mereka takut. Berbicara yang berseberangan dengan GBNH atau Garis Besar Nurdin Halid tentu akan membuat jabatan mereka terancam. Padahal, bukan tak mungkin banyak dari mereka yang menggantungkan pendapatan dari status sebagai pengurus PSSI.

Alasan kedua tentu terkait dengan alasan pertama. Karena merasa nyaman ketika Nurdin memimpin dan mendapatkan keuntungan – baik finansial maupun nonfinansial, mereka tentu lebih berharap “status quo” dipertahankan. Dengan demikian, “kemaslahatan” mereka tetap terjaga.

Melihat gejala yang terjadi, tampaknya amat mustahil untuk berharap para pengda dan pengcab terbuka hatinya untuk melihat cahaya kebenaran di sepak bola Indonesia. Berharap pemerintah untuk turun tangan dan mencampuri urusan PSSI juga ternyata tak berjalan dengan lancar.

Mau tunggu Nurdin turun dengan sendirinya? Sama saja. Selain secara waktu lebih lama, orang yang menggantikannya pun bisa jadi berasal dari satu golongan dengan dia. Kalau kata teman saya Naif Al’as, siapa pun ketuanya, pasti Nugraha Besoes sekjennya. Keneh keneh kehed lah kata orang Sunda mah.

Jika memang ingin melihat perubahan pada wajah sepak bola nasional, revolusi menjadi pilihan yang bisa diambil. Tapi, tentunya dengan cara yang bijak. Tentu bukan revolusi dengan cara anarkis dengan menghalalkan segala cara, kecuali untuk cara konstitusional pemilihan Ketua Umum PSSI.

Hal yang pertama harus dilakukan tentunya dari diri tiap-tiap individu suporter sendiri. Saya tak pernah bosan untuk mengingatkan, “Jadilah suporter yang baik. Jadilah suporter yang mampu bersikap dewasa.” Sebab, akan percuma menuntut suatu perubahan, tapi kita sendiri yang menjadi penuntut tak bisa bersikap arif dalam menyikapi persoalan.

Dengan bersikap dewasa, tentu kita para suporter harus bisa menerima segala perbedaan yang terjadi. Termasuk soal bendera klub yang didukung. Janganlah kita saling bermusuhan meski berbeda panji. Sebab, friksi yang terjadi justru akan melemahkan kekuatan yang kita galang untuk melawan musuh bersama, yang kita anggap merusak sepak bola negeri ini.

Mari, marilah kita bersikap dewasa. Marilah kita menjadi suporter yang baik. Marilah kita bersatu untuk melakukan revolusi ke arah yang lebih baik.

Pada saat normal, kejahatan tentu akan kalah dari kebaikan. Tapi pada saat seperti sekarang ini, kejahatan hanya bisa dilawan oleh kejahatan lainnya. Jika cara konstitusional tak bisa, cobalah cara inkonstitusional. Tentunya, kita harus bisa siap menerima risikonya. Dibutuhkan kedewasaan untuk menyikapi hal itu.

Ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama adalah dengan pembentukan opini publik. Jika suporter sudah bisa menjadi alat kontrol sosial, dengan mudah kita bisa menggiring opini publik untuk satu tujuan. Seperti halnya gerakan mahasiswa pada 1998.

Bukan tak mungkin, dengan kedewasaan yang dimiliki, dukungan publik terhadap pembaruan di tubuh PSSI bisa segera terwujud. Tentunya, para pengda dan pengcab itu tak mau dicap sebagai “musuh publik” lantaran berpendapat yang bertolak belakang dengan anggapan umum.

Ketika mata dan hati para pengda dan pengcab itu terbuka lantaran tekanan publik yang sudah demikian besar, yakinlah jika pembaruan di PSSI akan bisa terjadi. Dengan menjadi suporter yang baik dan lebih dewasa, tentunya kita sudah berpartisipasi dalam usaha memajukan sepak bola Indonesia.

Cara kedua mungkin saja menggunakan cara represif. Ketika anggota dewan sudah tak mau mendengar suara rakyat melalui corong mahasiswa, maka pada 1998 timbul gerakan luar biasa yang menduduki Gedung DPR. Hal yang sama mungkin bisa dilakukan oleh suporter tanah air. Syaratnya, kita sudah semakin dewasa, satu suara tanpa ada friksi, dan siap untuk mengawal gerakan reformasi sepak bola Indonesia.

Saat ini, kita mungkin belum bisa membayangkan bagaimana memperkirakan bagaimana hasil akhirnya. Tapi jika memang sudah lelah dengan kondisi karut-marut sepak bola negeri ini, cara yang kedua ini bisa dipertimbangkan.

Tabik.