Indonesia memang (kembali) gagal menjadi yang terbaik setelah kandas dari Malaysia pada laga puncak final Piala AFF 2010. Tapi, ada kemenangan yang lebih besar daripada sekadar trofi juara.

Hadiah pertama adalah tumbuhnya minat publik terhadap sepak bola nasional. Sebelumnya, tak banyak orang yang tahu betapa begitu besarnya antusiasme yang ditimbulkan oleh sepak bola nasional. Malah, banyak yang mencibir, “Apa sih serunya sepak bola kita?”

Setelah merasakan langsung hadir di Gelora Bung Karno, mereka yang awalnya skeptis pun menjadi terbuka pikirannya. Terlebih, kala “Indonesia Raya” dikumandangkan.

“Maaf penilaian gue salah. Gue baru ngerasain betapa luar biasanya suporter sepak bola Indonesia dan betapa merindingnya bulu kuduk ketika lagu kebangsaan dinyanyikan bersama-sama oleh puluhan ribu suporter,” jelas seorang anchor televisi yang sebelumnya beranggapan jika sepak bola Indonesia tak punya kelebihan apa pun dibandingkan Premier League.

Bukan hanya Kaum Adam. Kaum Hawa yang biasanya tak ada minat sama sekali, tiba-tiba menjadi begitu geregetan ketika Cristian Gonzales, Firman Utina, atau Ahmad Bustomi gagal menyelesaikan peluang emas yang didapat.

REFILE - CHANGING COUNTRY TO INDONESIA Indonesia's fans cheer before the start of the second leg final match against Malaysia during the ASEAN Football Federation (AFF) Suzuki Cup 2010 soccer tournament in Jakarta December 29, 2010. REUTERS/Beawiharta (INDONESIA - Tags: SPORT SOCCER)

Antusiasme publik terhadap sepak bola itu pun menghadirkan hadiah terbesar, semangat persatuan – sesuatu yang pada masa sekarang lebih sering menjadi semboyan atau hanya menjadi pelengkap kata di buku pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Sepak bola atau olahraganya pada umumnya memang menjadi alat pemersatu yang luar biasa. Tak peduli latar belakang agama atau kelompok, mereka meneriakkan koor yang sama, “Indonesia!”.

Lewat tim Garuda, kita mengetahui sepak bola Indonesia punya potensi luar biasa. Untuk berbicara di level dunia, memang dirasakan masih jauh. Tapi, dengan dukungan yang begitu luar biasa, seharusnya masyarakat tetap perlu memupuk optimisme soal masa depan sepak bola nasional, khususnya timnas.

Tentu saja, tetap dengan catatan. Dibutuhkan pengelolaan yang bersih dan profesional untuk mencapai itu semua. Bersih dan profesional untuk saat ini tampaknya masih belum terlihat dari PSSI.

Tak perlu untuk membahas soal PSSI. Toh, masyarakat juga sudah punya pandangan tersendiri terhadap otoritas sepak bola tertinggi di tanah air itu.

Saat ini, tugas kita hanyalah menjaga api antusiasme dan optimisme soal sepak bola nasional itu ada. Caranya bisa beragam.

Awalannya mungkin bisa dengan mencoba mencari tahu tentang sepak bola Indonesia itu sendiri. Misal, dimulai dari klub yang ada di kota kita masing-masing. Setelah mengenal, cobalah untuk menyaksikan mereka bertanding langsung di stadion. Saya berani jamin, rasa yang ditimbulkan takkan beda jauh dari ketika menyaksikan timnas bertanding di Gelora Bung Karno.

Jika sudah bisa tahu, kenal, dan merasakan betapa luar biasanya antusiasme fans sepak bola di Indonesia, kita tentu tak perlu terlalu kesal jika jalanan sering macet karena adanya rombongan suporter. Itulah begitu fanatisme dan kecintaan mereka.

Toh, kita pun pernah merasakan macet atau susah parkir ketika timnas berlaga? Bukankah kita juga pernah bertinda “gila” saat mendukung Firman Utina cs di GBK? Nah, komunitas suporter itu melakukannya dalam lingkup yang lebih kecil.

Jika memang ada kejadian tak mengenakkan timbul, misal aksi anarkis, usai pertandingan liga, jangan salahkan seluruh komunitas suporter. Itu hanyalah oknum. Lagipula, sepak bola negeri ini, termasuk komunitas suporternya, masih dalam taraf ingin maju. Wajar apabila masih ada salah dalam menunjukkan kecintaan mereka.