Pagi ini, Sdr. Edy Pramana datang ke kantor membawa oleh-oleh. Seperti sudah menjadi kebiasaan di SOCCER, setiap ada yang pulang dari luar kota terutama urusan dinas, “diwajibkan” membawa buah tangan ke kantor berbentuk makanan.

Oleh-oleh yang dibawa kali ini adalah slondoh. Sejenis keripik yang berasal dari singkong.

Bukan slondoh dari Solo seperti dibawa Edy yang membuat saya terkenang sebuah memori. Melainkan slondoh yang kerap saya temui semasa kuliah.

Kejadiannya terjadi saat saya masih kuliah di salah satu universitas negeri di Depok. Hampir setiap hari, saya melakukan perjalanan pulang-pergi menggunakan KRL Jabodetabek, Bogor-Stasiun UI PP.

Sudah menjadi rahasia umum apabila di KRL Ekonomi berjubel segala macam profesi. Mulai dari karyawan kerah biru atau putih, pengamen, hingga tukang jualan dari mulai makanan hingga sumbu kompor.

Salah satu tukang jualan yang saya ingat adalah tukang slondoh. Seorang bapak-bapak setengah baya yang berpostur cukup tinggi, kurus, memiliki jidat yang cukup lebar dengan tatanan rambut disisir ke belakang ala Marlon Brando di film Godfather.

Dia kerap berjualan aneka keripik yang dibawanya menggunakan kardus dan diangkat dengan kedua tangannya, sejajar dengan wajah dia. Sebuah cara guna menghindari desakan penumpang mengingat keripik termasuk barang “pecah belah”.

Satu hal yang menarik dari penjual slondoh itu adalah kata-kata yang diucapkan kala menjajakan jualannya. Kendati isi kardusnya – yang mungkin muat belasan kantong plastik keripik – beraneka rupa, tetap yang dipromosikannya hanya satu, slondoh.

“Slondoh…. slondooh… slondoooh…” Kata-kata itulah yang selalu diucapkannya ketika berjualan.

Setelah 10 tahun berlalu, memori itu kembali keluar dari kepala saya. Oleh-oleh yang dibawa teman kantor membuka kenangan lama, saat saya menikmati perjalanan menggunakan KRL Ekonomi.

Ke manakah sang Bapak Penjual Slondoh itu? Apakah dia tetap istiqamah dengan barang jualannya? Saya berharap dia telah mendapatkan ekonomi yang lebih dengan hasil penjualannya itu saat ini.

Kebon Jeruk, 3 Agustus 2010