“Kang, pilih LPI atau ISL?”

Pertanyaan itu paling sering mendarat di mention twitter milik saya. Sebagai seorang “Comedian” (baca: It’s Hard Being a Comedian), saya selalu membalas dengan jawaban yang netral. “Biarlah pasar yang menentukan.” tulis saya membalas beberapa pertanyaan teman.

Mengapa saya tidak memberikan jawaban yang tegas, ke kanan atau ke kiri? Sebab, saya pun belum “tahu” bagaimana rupa Liga Primer Indonesia atau disingkat LPI seperti pertanyaan di atas. Lha wong kompetisinya saja baru mulai 8 Januari 2011 ini. Masih infant untuk memberikan penilaian langsung.

Bagaimana mungkin menilai sesuatu yang masih abstrak? Jikapun Anda membaca tulisan ini setelah LPI bergulir, jawabannya hanya sedikit bergeser. Masih terlalu dini untuk menilainya. Sama saja dengan menanyakan, wajah bayi yang baru lahir lebih mirip siapa, jawabannya akan berubah-ubah.

Namun, jawaban saya akan bercabang jika pertanyaan yang disodorkan lebih spesifik. “Sebagai seorang fans klub tertentu, mana yang dipilih? LPI atau ISL?” Nah, kalau pertanyaannya seperti ini, jelas saya menjawab Indonesia (seharusnya Indonesian) Super League atau ISL. Sebab, klub asal daerah saya hanya berkompetisi di liga bentukan PSSI itu.

Jawaban saya pun akan berubah jika pertanyaannya seperti ini, “Kalau sebagai orang pencinta sepak bola, Akang pilih mana?” Saya akan menjawab, “Berilah LPI unjuk kebolehan!”

Mengapa saya akan berkata LPI pada pertanyaan di atas? Sebab, laiknya seorang manusia, selalu akan tertarik pada hal-hal yang baru. Seperti halnya ketika keluar model terbaru dari sebuah gadget, sikap curiousity seseorang akan keluar. Kadang, kita butuh spark agar kebosanan terhadap sesuatu yang sudah ada berlangsung stagnan.

Contohlah ketika Apple mengeluarkan iPad. orang tentu awalnya penasaran dan ingin tahu seperti apa sih alat itu. Seorang pencinta gadget – dan tentu saja punya alokasi dana untuk setiap barang baru, tentu akan langsung membeli iPad.

Tapi, penggemar gadget yang bijak, tentu akan terlebih dulu mempertimbangkan untung dan rugi dari memiliki iPad. Untuk apa membeli iPad jika tujuannya hanya untuk bergaya kala datang ke kafe atau sekadar memainkan Angry Birds?

Seorang pencinta sepak bola pun demikian. Kehadiran LPI tentu akan menjadi tambahan tontonan dan hiburan sepak bola. Ibaratnya, seorang penggemar Premier League, tentu tak bakal tutup mata kala ada laga bagus atau keseruan di Serie-A.

Begitu juga antara LPI dan ISL. Biarlah dua liga itu menjadi tambahan tontonan dan memperlebar khazanah sepak bola kita. Toh, kita akan selalu senang kok mendengar tim daerah kita, entah di LPI atau ISL, meraih kejayaan. Ibaratnya, penggemar sepak bola asal Bandung, pasti akan senang ketika Garuda Panasia meraih kemenangan atas Satria Muda Britama meski sebenarnya tidak terlalu mengenal basket.

Pada akhirnya, pasar pula yang menentukan apakah sebuah produk bisa diterima atau tidak. Besar kecilnya, tergantung beberapa aspek. Misalnya soal iPad tadi, pengguna BlackBerry bisa saja ingin membeli untuk melengkapi fungsi yang kurang dari handheld miliknya. Tapi, bisa juga tidak tertarik sama sekali. Andaikan secara kuantitas tak banyak, toh pembeli iPad tetaplah ada.

Idem ditto dengan pemilihan antara LPI dan ISL. Kita tak perlulah terjebak dengan persaingan politik antara Arifina Panigoro dari kubu LPI dan Nurdin Halid dari PSSI yang menggawangi ISL. Sebagai penikmat sepak bola, syukuri sajalah adanya tambahan menu tontonan.

Dengan adanya tim-tim tradisional, tentu saja tak bisa terelakkan jika fanatisme kedaerahan yang masih kuat membuat fans ISL tetaplah ada. Seseorang yang benci kepada PSSI dan Nurdin Halid, dalam hati kecilnya tetap mendukung tim kesayangannya yang (masih) berlaga di ISL.

Hukum pasar pun berlaku dalam sepak bola. Jika memang LPI lebih menarik, tak ada diharamkan toh kita membagi atau bahkan beralih dukungan dari tim tradisional yang didukung sebelumnya.

Jika memang tak suka dengan menu yang disajikan LPI, tak perlulah kita menghujat dan mengecamnya. Berbeda pendapat itu wajar kok. Di negara saja sudah termaktub di Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28.

Jadi, biarlah dua kompetisi itu (untuk saat ini) berjalan beriringan. Siapa tahu, kehadiran LPI bisa menjadi tantangan dan bahan evaluasi bagi ISL untuk memperbaiki diri. Ujung-ujungnya, memacu PSSI untuk direformasi, memperbaiki kinerjanya, dan membersihkan diri dari segala kepentingan yang hanya menguntungkan para pengurusnya.

Layaknya analogi soal gadget, biarlah pasar yang menentukan, liga mana yang lebih pantas menjadi “pengguna” mayoritas di negeri ini. Kalau memang sama-sama baik dan berujung pada peningkatan sepak bola negeri ini, marilah kita kawal dua kompetisi itu agar berjalan di trek yang benar.

Sebagai penggemar klub asal daerah yang tampil di ISL, seorang pencinta sepak, dan orang yang bekerja di media, saya mengucapkan, “Selamat datang, LPI. Semoga khazanah sepak bola Indonesia semakin bertambah. Untuk ISL, jangan mau kalah. Hapuskanlah citra negatif yang selama ini kadung melekat. Maju terus sepak bola Indonesia!”