Ingatan Firmansyah melayang ke masa kecilnya ketika melewati kompleks makam di lingkungan tempat dirinya dibesarkan di Bekasi Selatan. Mantan pemain timnas Indonesia di Piala Asia dan Piala Tiger (sekarang Piala AFF) 2004 itu terkenang pada masa pertama suka dengan sepak bola.

Indonesia's Firmansyah Agus (L) and Qatar's Magid Mohamed fight for the ball during their Group A match at the workers' Stadium in Beijing July 18, 2004. Indonesia won 2-1. REUTERS/China Photos ASW/LA Reuters / Picture supplied by Action Images

“Awalnya, saya hanyalah suka melihat teman-teman bermain di lapangan,” jelas pesepak bola yang kini menjadi pegawai PDAM di Kota Bekasi, tempat dirinya dibesarkan.

Lapangan yang dimaksud Firmansyah bukanlah lapangan sepak bola yang seperti dibayangkan. Melainkan hanya sepetak tanah kosong, di sela-sela makam di kuburan Kober, Bekasi. “Wajar apabila ada kengerian jika kami bermain terlampau sore,” bayang pemain “temuan” Warta Kusuma ini.

Saat menyaksikan pertandingan, Firmansyah dipanggil oleh beberapa dari anak-anak yang sedang bermain. Ternyata, mereka kekurangan pemain untuk menghadapi kampung sebelah.

“Saya sempat menolak ajakan tersebut karena merasa tak bisa bermain. Paling banter hanya tendang-tendangan bola,” cerita dia. “Tapi, teman-teman meyakinkan jika peran saya hanya sebagai bek dan tugasnya cuma tendang-tendang bola.” Firmansyah yang saat itu masih berusia 7 tahun pun mau dan bergabung untuk main.

“Debut” Firmansyah tidaklah terlalu bagus. Pada laga pertamanya itu, dia mendapatkan ganjalan keras dari lawan. “Itu membuat saya terloncat dan jatuh ke salah satu makam. Parahnya lagi, makam tersebut sampai melesak ke dalam akibat saya terjatuh di atasnya,” ingat pemain kelahiran 7 April 1980 itu.

“Saat itu, teman-teman mengatakan jika saya bisa sial karena kejadian itu. Mendengar cerita itu plus kisah tentang keangkeran Kuburan Kober, saya sampai tak bisa tidur benar selama satu minggu,” cerita dia.

Guna menghilangkan rasa takut dan khawatir akibat terperosok ke kuburan pada “debutnya”, Firman mencoba bermain kembali pekan depannya. “Ya kalau memang bawa sial, pasti saya akan alami kejadian enggak enak lagi,” pikir dia saat itu.

Ternyata, kekhawatiran Firman tak beralasan. Dia justru bisa tampil apik pada laga keduanya. Malah, langsung menggandrungi permainan olah kulit bundar. Sejak saat itu, dia menjadi andalan di kampungnya. Termasuk ketika ada laga tarkam.

Bersama kakak-beradik, Nuralim dan Nurafik yang juga pemain bola, Firman mendapatkan pantauan dari Warta Kusuma. Mantan pemain timnas itulah yang memoles mereka sehingga menjadi defender andal.

“Cerita di Kuburan Kober itu memberikan saya pencerahan. Kalau mau jadi pemain hebat, janganlah melulu mendengarkan komentar miring, kecuali kritik membangun. Terpenting ada kemauan, disiplin, dan jangan pernah merasa puas,” nasihat mantan pemain Sriwijaya FC dan Persikota Tangerang itu.

Saat melewati Kuburan Kober yang sudah penuh sesak oleh deretan batu nisan saat ini, Firmansyah tak pernah melupakan kenangan masa lalunya itu. Walaupun lapangan tempat biasa dia main saat kecil di Kampung Dua Ratus, Kelurahan Marga Jaya itu sudah tidak ada, pemain yang selalu mengenakan nomor 18 sejak di level amatir itu tetap menyimpan kenangan manis tentang kompleks kuburan tersebut.