Medio Oktober lalu, untuk waktu yang cukup lama, saya bisa menjelajahi Kota Makassar. Kesempatan yang bisa saya manfaatkan untuk bisa mengetahui atau lebih tepatnya mencari kebenaran soal cerita orang tentang stereotip orang Makassar yang katanya garang atau kasar – sesuai dengan unsur yang terdapat di nama kota.

“Saya pernah ke Sumbaopu, terus nawar barang. Namun, batal beli. Eh… masa saya kemudian dikejar yang jual sambil bawa-bawa badik,” cerita Ario, teman saya semasa SMA.

Cerita sahabat saya itulah yang terekam kuat di benak saya. Apalagi, sepupu saya pernah punya karyawan yang asalnya dari Makassar – kemudian saya sadari ternyata berasal dari Toraja – yang sifatnya blak-blakan.

Pada awal saya menginjakkan kaki di Sultan Hasanuddin, stereotip tentang orang Makassar masih tertanam. Apalagi melihat supir taksi yang berada di lingkungan bandara yang cenderung berbicara lantang dan berwajah keras.

Namun, anggapan saya itu tidak bertahan lama. Ketika panitia lokal untuk acara kantor saya datang dan kemudian berbicara, kekhawatiran saya mulai terkikis. Benarlah ujar-ujar yang berbunyi, “Jangan langsung percaya jika tidak membuktikannya sendiri.”

Saya pun merasa anggapan yang sudah lama tertanam di kepala saya itu salah. Mungkin, mereka bicara lebih lantang dan dengan volume tinggi. Tapi, tetap dalam kaidah dan norma yang wajar. Mungkin, laiknya orang yang berasal dari wilayah Jawa, karena tidak biasa saja sehingga menganggap ucapan mereka itu kurang sopan.

Sebelum datang ke Makassar, saya lempar pertanyaan via Twitter untuk mengetahui siapa yang bisa membantu saya untuk berkeliling Makassar. Termasuk untuk meliput. Ternyata, reaksi dari beberapa teman begitu menyenangkan. Mereka begitu welcome dan menyarankan beberapa nama atau tempat untuk dikunjungi.

Sosok yang saya temui pertama adalah Indra, Ketua BigReds Makassar. Dia dengan baik hati mau mengantarkan saya mengunjungi mes PSM Makassar untuk melakukan wawancara dengan pelatih Petar Segrt. Baiknya, Indra yang sebenarnya tidak tahu di mana mes itu berada, mau berusaha untuk mencari tahu dengan menanyakan ke beberapa temannya, menemani, hingga mengantarkan saya balik. Thanks to him.

The Maczman Cafe and Merchandise. Pusat komunikasi dan kreativitas komunitas suporter PSM itu.

Pandangan saya terhadap orang Makassar semakin berubah drastis 180 derajat setelah bertemu anak-anak The Maczman. Tak ada kesan garang sama sekali. Komunitas suporter PSM Makassar itu malah begitu ramah menyambut saya. Atau lebih tepatnya mau direpotkan oleh saya.

Ketika saya mengunjungi Kafe The Maczman, pintunya masih tertutup. Saya hanya berkomunikasi melalui akun Twitter resmi The Maczman. Namun, respons dari mereka ternyata begitu luar biasa.

Beberapa anggota The Maczman rela membelah Makassar hanya untuk datang dari markas besar di Rappokaling menuju kafe yang berada di wilayah lain Makassar. Tidak hanya satu, melainkan beberapa orang sekaligus.

Obrolan kami pun mulai cair. Setelah dari kafe, saya lantas mengunjungi Stadion Mattoanging untuk menyaksikan PSM Makassar melakukan laga uji coba. Setelah itu, saya diajak mengunjungi mabes mereka.

Beberapa anggota The Maczman yang dijumpai di The Maczman Cafe and Merchandise.

Di mabes The Maczman, saya melihat suasanan berbeda dari beberapa tempat suporter kumpul yang pernah saya kunjungi. Mereka begitu religius. Kebetulan, usai pertandingan PSM, datang waktu shalat Maghrib. Bang Coklat yang menjadi jenderal lapangan The Maczman, mengajak anggotanya untuk segera menunaikan rukun Islam kedua itu.

“Tak salah apabila Kang Jalu punya pandangan seperti itu (kasar). Bisa dibilang, bukan disebut orang Makassar bila tidak pernah berantem,” kelakar Coklat.

“Kami memang tengah mencoba mengubah pandangan orang terhadap suporter PSM. Dari yang dianggap kasar atau arogan, menjadi ramah dan murah senyum,” bilang Coklat yang punya nama asli Andi Syam Paswah Alam.

Sebuah evolusi sikap memang telah coba dicanangkan The Maczman sejak pertama kali berdiri satu dekade lampau. Menurut Coklat, para pendiri The Maczman ingin melihat komunitasnya yang dibentuk menjadi suporter mandiri dan berdaya cipta tinggi. “Karenanya, kami mencoba menyebarkan virus kreativitas kepada para anggota,” tandas Coklat.

Evolusi sikap itu tak hanya dari segi kreativitas. Dari sikap moral pun demikian. Salah satunya dalam bersikap dan bertingkah. Coklat mengakui jika ada anggota The Maczman yang awalnya dekat dengan kehidupan hitam. Mabuk-mabukan misalnya.

“Untuk menguranginya, ada aturan tegas. Tidak boleh minum alkohol sebelum menonton PSM. Sebab, kejantanan dalam mendukung tidak diukur dari minum alkohol sebelum pertandingan,” tegas Coklat merujuk kebiasaan suporter di Inggris yang kadang ditiru suporter di Indonesia. “Saya berani bertaruh dengan Kang Jalu. Kalau ada anggota The Maczman yang seperti itu, saya beri dua juta rupiah!”

Perubahan sikap itu tak hanya terjadi saat di lapangan. Saat hendak menonton pun, para anggota The Maczman dituntut untuk tidak mengganggu ketertiban pemakai jalan lain. Misal, seperti diungkapkan Fandy, tak boleh ada knalpot racing yang bikin bising. “Kami pun harus mematuhi aturan lalu lintas, tidak menerobos lampu merah misalnya,” tambahnya.

Guna menghindari hal-hal negatif lain, ada beberapa jalan keluar yang coba dilakukan. Dari pengamatan saya saat ke mabes The Maczman, ada beberapa kegiatan yang tengah dilakukan. Ada yang sedang menyablon kaos, ngeprint gambar untuk pamflet, atau memainkan alat musik.

“Salah satu langkah kami untuk mandiri adalah dengan mempunyai pemasukan sendiri. Selain dari kafe, kami juga memproduksi merchandise. Kami pun punya event organizer untuk kegiatan amal,” bilang Coklat sambil menunjukkan sebuah leaflet bergambar Iwan Fals di sebuah kegiatan amal.

Laiknya sebuah komunitas dengan jumlah anggota puluhan ribu, The Maczman tentu menjadi gula yang begitu manis untuk diburu. Para parpol dan ormas diakui Coklat beberapa kali mencoba mendekati The Maczman. Apalagi, kafe yang menjadi tempat berkumpul dekat dengan beberapa markas parpol dan ormas.

“Kami sering tutup siang hari karena tak enak jika dilihat ada anggota ormas atau parpol yang ada datang ke sini. Kami ingin menjaga independensi,” tuturnya.

Mendengar penjelasan yang dibeberkan Coklat dan beberapa anggota The Maczman, stereotip saya soal orang Makassar yang kasar itu tidaklah benar. Tak benar jika Makassar dalam suku bangsa atau kota itu berarti bersikap kasar. Sebaliknya, mereka begitu ramah dalam menyambut pendatang. Hanya orang yang tidak tahu atau belum berkesempatan mengetahuinya saja, yang mungkin punya asumsi seperti itu.

Pandangan lama saya soal orang Makassar itu memang tidak benar. Tapi, bagi sebagian atau malah banyak orang, hal tersebut masih melekat. Tak heran, pemerintahan provinsi Sulawesi Selatan mencanangkan sebuah program yang menurut saya bagus, “Visit Sulawesi Selatan 2012”.

Sebuah usaha yang tak hanya akan meningkatkan pemasukan asli daerah dari sektor pariwisata. Pun membuang persepsi lama orang soal orang Makassar. Ewako!