“Tak boleh (bisa). Kami tak mau diwawancarai wartawan Indonesia,” kata salah seorang pentolan Ultras Malaya yang coba saya wawancarai di depan Stadion Bukit Jalil, Sabtu (1/12), jelang laga pamungkas Grup B Piala AFF 2012 antara Indonesia dan Malaysia.

“Media di Indonesia (sambil menyebut salah satu portal berita di tanah air) telah menjelek-jelekkan kami. Itu dilakukan tanpa konfirmasi lebih dulu,” tambah rekannya. “Jika mau tahu tentang sejarah berdirinya Ultras Malaya, buka saja Wikipedia!”

Ultras Malaya berkumpul jelang laga Malaysia vs Indonesia. (Foto: Jalu/SOCCER)

Kegeraman pentolan Ultras Malaya – yang enggan menyebutkan namanya, tak lepas dari berita yang beredar di Indonesia. Pada artikel yang terdapat di media tersebut, disebutkan bahwa Ultras Malaya terlibat dalam pemukulan terhadap suporter Indonesia pada matchday sebelumnya.

Padahal, belum tentu pelakunya adalah anggota Ultras Malaya. Bisa saja oknum suporter Malaysia lain karena sama-sama mengenakan baju hitam-kuning yang merefleksikan timnas Malaysia.

Saya pun cukup mengerti dengan sikap mereka. Dalam situasi ramai dan padat jelang pertandingan, jangankan suporter yang dua timnya merupakan rival. Sesama suporter dengan bendera tim yang sama pun bisa saja terlibat friksi lantaran pelbagai hal.

Terlebih, saya sama sekali tidak melihat ada wartawan dari media yang disebutkan itu di lokasi. Bisa jadi informasi yang didapat soal friksi tersebut hanya dari korban, yang juga belum tentu tahu betul apakah yang menyerangnya adalah anggota Ultras Malaya atau fans Malaysia biasa.

Siapa pun yang melakukannya, jelas itu adalah oknum karena toh sebagian suporter yang lain merasa aman-aman saja. Malah, aku seorang teman, sejumlah dirigen Ultras Malaya menunjukkan sikap menjura ketika ada suporter Indonesia yang masih berdiri di pagar pembatas tribun untuk memberikan aplaus kepada Andik Vermansah cs usai kalah 0-2 dari Malaysia. Ketika sebagian suporter Indonesia bersikap yang lain bersikap realistis dan meninggalkan bangku penonton beberapa menit sebelum laga usai.

Bagaimana soal nyanyian fans Malaysia yang menjelek-jelekkan Indonesia? Saya pribadi secara jujur tak terima negara ini dihina-dina oleh mereka. Tapi, saya pun kembali bertanya, “Apakah saya dan juga suporter di Indonesia tak pernah mengata-ngatai Malaysia?” Bukankah kita pun sering menjelek-jelekkan dan memplesetkan nama negara Malaysia?

Lagipula, bukankah lazim suporter sebuah tim melakukan teror dengan menjelek-jelekkan lawannya? Hal yang berlaku di klub tersebut tentu juga berlaku untuk pertandingan level internasional. Begitu juga dengan aksi lempar-lemparan antarsuporter. Toh, budaya itu sudah terbentuk dari liga di Indonesia sendiri.

SEMUA SAMA

Saya coba menepikan dulu soal adanya kasus bentrokan dan nyanyian sindiran itu. Saya pun tak mau mengambil sikap untuk menempatkan siapa yang benar dan salah pada laga tersebut Saya tertarik dengan keberadaan Ultras Malaya yang mendukung timnas Malaysia.

Kaos khusus yang dibuat pendukung Malaysia untuk Piala AFF 2012. (Foto: Jalu/SOCCER)

Kendati tak mau diwawancarai, pentolan Ultras Malaya itu tetap mau melanjutkan obrolan dengan saya. Dia pun bercerita bahwa dirinya merupakan pendukung Selangor FA. Sebagai fans, dia sangat menyanjung Bambang Pamungkas dan Elie Aiboy yang pernah membawa klub tersebut meraih treble winners pada 2005.

“Sejak Bambang dan Elie pindah, Selangor tak pernah lagi meraih juara Malaysia Cup. Kalau Premier League pernah dua kali,” kenangnya.

Dia pun bercerita soal Ultras Malaya. “Di kami, tak ada yang namanya ketua. Semua sama. Siapa pun boleh bergabung. Jumlah member sudah lebih dari 10 ribu,” lanjutnya.

Berdasarkan saran rekan Ultras Malaya itu, saya pun mencari tahu melalui Wikipedia. Sejak dibentuk pada 2007 – bermula dari situs www.harimaumalaya.com, Ultras Malaya dibentuk untuk memberikan dukungan langsung kepada timnas Malaysia. Tak peduli prestasi Harimau Malaya tengah terpuruk atau menanjak, mereka tetap bersuara lantang untuk memberikan dukungan.

Salah satu puncak prestasi mereka terjadi pada Piala AFF 2010. Mereka menjadi penyokong keberhasilan Safee Sali cs menang 3-0 atas Indonesia, yang berujung pada gelar juara. Keberhasilan itu membuat jumlah anggota Ultras Malaya terus meningkat.

SATU SUARA

Keberadaan Ultras Malaya itu memacu antusiasme penonton awam untuk mendukung timnas Malaysia langsung ke stadion. Malah, mereka bisa menularkan yel-yel dan nyanyian yang sama ke seluruh tribun Stadion Bukit Jalil.

Itu saya lihat begitu luar biasa. Kebetulan, saya menjadi saksi koreografi mereka pada final Piala AFF 2010 dan fase grup Piala AFF 2012. Dalam tempo dua tahun, perkembangan kreativitas Ultras Malaya begitu pesat.

Misalkan saja, saat lagu kebangsaan “Negaraku” dikumandangkan, mereka ramai-ramai menaikkan Jalur Gemilang (bendera Malaysia) hingga hampir menutupi seluruh tribun. Beberapa spanduk lain yang menunjukkan loyalitas mereka sebagai penyokong Ultras Malaya pun dinaikkan.

Aksi Ultras Malaya ketika Negaraku dikumandangkan. (Foto: Jalu/SOCCER)

Salah satu yang menarik adalah ketika melakukan koreografi dengan mengangkat syal. Diiringi teriakan “Oooooo” seluruh penonton mengangkat pelan-pelan syal kuning-hitam atau Jalur Gemilang. Saat tangan sudah mencapai puncak, mereka dengan lantang meneriakkan “Ma… Lay… Sia…” sambil menggerak-gerakkan syalnya.

Jujur, situasi itu membuat saya yang bertindak sebagai tamu (meski bukan pemain) merinding. Dengan kemiringan tribun yang curam plus warna dominan kuning-hitam, Stadion Bukit Jalil menyerupai Westfalen (Signal Iduna Park) yang menjadi kandang Borussia Dortmund. Para penonton tak ubahnya lebah-lebah yang siap menyengat dan meneror pemain lawan yang coba mengganggu sarangnya. Sebuah teror bagi setiap tim yang datang.

“Pemerintah Malaysia dan media-media di sini memang telah lama mensosialisasikan soal bentuk dukungan kepada timnas. Mereka harus datang dengan atribut yang sama dan memberikan dukungan yang sama,” cerita Khairul, salah seorang wartawan dari radio Malaysia yang datang ke Bukit Jalil dengan seragam pertama Harimau Malaya.

BAGAIMANA, SUPORTER INDONESIA?

Satu hati, satu warna, dan satu suara. Mungkin itulah salah satu pelajaran yang dipetik dari Ultras Malaya. Ketika timnas tengah terpuruk, mereka memang melakukan kritik keras. Tapi, hal tersebut tak membuat mereka mundur dalam mendukung perjuangan Harimau Malaya.

Saat datang ke stadion, atribut-atribut kelokalan pun ditanggalkan. Mayoritas mereka datang ke Stadion Bukit Jalil dengan mengenakan kostum hitam-kuning, meski Malaysia jarang lagi menggunakannya. Spanduk dan panji yang mereka bawa ke stadion pun murni bentuk dukungan terhadap perjuangan timnas.

Begitu juga dengan yel-yel yang diteriakkan. Meski sebagian chants yang diteriakkan mirip dengan suporter di Indonesia, aksi yang ditunjukkan Ultras Malaya itu telah membuat saya kagum. Mereka satu suara dalam membela timnas. Ketika satu chants dinyanyikan, seluruh tribun pun akan menggemakannya. Tak ada suporter yang tak ingin kalah suara, menyanyikan chants yang berbeda.

Tiga hal itu tentunya bisa dijadikan pelajaran oleh suporter Indonesia dalam memberikan dukungan. Meski berasal dari rival, jika memang ada pelajaran positif yang bisa dipetik, kenapa tidak diterapkan?

Situasi persepakbolaan Indonesia memang tengah mengalami konflik. Namun timnas sebagai sebuah puncak piramida sepak bola di negeri ini, tetap patut mendapatkan dukungan. Seperti tertulis di spanduk pendukung Malaysia, “Busuk-busuk pahlawanku”. Jika diterjemahkan secara harfiah, maknanya bisa menjadi siapa pun pemain yang ada di lapangan, tetaplah memakai lambang atau bendera negara di dada kiri dan pantas mendapatkan dukungan.

Begitu juga soal dukungan langsung di stadion. Sikap satu suara yang ditunjukkan Ultras Malaya dan suporter Malaysia lain bisa dijadikan contoh. Toh dengan suara yang seragam, bukankah chants akan semakin enak didengar? Tentu saja akan semakin membuat para pemain timnas termotivasi sekaligus menggetarkan nyali lawan yang bertandang.

Suporter Indonesia merahkan satu tribun Bukit Jalil. (Foto: Jalu/SOCCER)

Suporter Indonesia yang hadir langsung di Bukit Jalil sudah bisa memberikan contoh. Meski berasal dari pelbagai daerah, komunitas, dan status, mereka tetap satu suara dalam melantangkan teriakan. Akan semakin indah jika hal itu bisa dirasakan di Gelora Bung Karno, stadion kebanggaan Indonesia.

Sampai jumpa di pertandingan timnas selanjutnya!