Pemain asal Afrika di beberapa kompetisi sepak bola Eropa telah menjadi tulang punggung sejumlah tim. Keberadaan mereka begitu penting. Label bintang pun disematkan. Rabah Madjer, George Weah, atau Samuel Eto’o merupakan beberapa pesepak bola Benua Hitam  yang dianggap sukses menaklukkan Benua Biru yang lekat dengan rasialisme.

Melihat kiprah pesepak bola Afrika saat ini, mereka tak boleh melupakan keberadaan Larbi Benbarek. Pemain kelahiran Maroko itu merupakan salah satu cikal bakal pesepak bola sukses di Eropa.

Lahir di Casablanca (Maroko) pada 16 Juni 1914, pemain bernama lengkap Haj Abdelkader Larbi Ben M’barek itu menjadi pemain Arab-Afrika pertama di Eropa. Setelah tampil apik bersama klub lokal, Ideal Club Casablanca dan US Marocaine, Benbarek menarik minat Olympique Marseille yang meminangnya pada 1938.

Perang Dunia II sempat menghentikan kiprah Benbarek di Afrika. Dia kembali ke Marocaine, namun beberapa klub Eropa tetap memantaunya. Setelah PD II surut, dia kembali ke Prancis dan membela Stade Francais.

Akan tetapi, cerita emas Benbarek yang sesungguhnya terjadi di Atletico Madrid. Membela Atletico antara 1948 dan 1954, dia mempersembahkan dua trofi La Liga dan satu Piala Eva Duarte (sekarang Copa del Rey).

BATAL JADI PETINJU

Casablanca merupakan pelabuhan besar di Afrika pada awal Abad XX. Dari kota itulah, invasi Eropa dimulai. Termasuk sejumlah cabang olahraga.

Tinju merupakan olahraga favorit di Afrika Utara. Melalui tinju, kaum pribumi bisa dengan mudah mendapatkan uang asal mau diadu.

Seperti kebanyakan pemain Afrika saat ini, masa lalu Benbarek pun kelam. Sang ayah yang merupakan montir kapal, meninggal saat Benbarek masih kecil. Meski bersama teman-teman masa kecilnya – Ben Abdallah Fatah “Didi” Hamiri Abdelkader, Mohamed Ben Kadmiri, dan Marcel Cerdan – sering diajak bermain bola di lapangan kosong di daerah rumahnya, Benbarek lebih tertarik dengan bujukan sang kakak, Ali Ben Taieb yang memintanya bertinju demi membantu ekonomi keluarga.

Menyambi menjadi tukang kayu, otot Benbarek juga ikut terbentuk. Dalam usia 14 tahun, dia memiliki kekuatan dan kecepatan pukulan melebihi sang kakak. Tapi, hasrat untuk menjadi pesepak bola melebihi bujukan sang kakak.

Pada usia 16 tahun, dia pun bergabung dengan klub sepak bola lokal di Casablanca. Pada laga pertamanya, dia menolak memakai sepatu dan lebih memilih bertelanjang kaki. Hal itu tak membuatnya kehilangan kemampuan. Terbukti dia ikut berandil dalam penciptaan dua gol oleh timnya.

Kebintangan Benbarek juga terbantu oleh Cerdan. Rekan masa kecilnya yang biasa bermain di posisi sayap kanan itu lebih memilih menekuni dunia tinju dibandingkan meneruskan karier di sepak bola. Bukan pilihan yang salah karena Cerdan kemudian menjadi salah satu petinju legendaris Prancis, sebelum kecelakaan pesawat merenggutnya pada 1949.

MUTIARA HITAM

Musim panas 1937. Jozsef Eisenhoffer, pelatih Olympique Marseille asal Hungaria, memantau sejumlah pemain di Casablanca untuk direkrut dan dibawa ke Prancis. Atas pertimbangan sang kakak, Benbarek menerima pinangan L’OM. Dia mendapatkan kontrak sebesar 30 ribu francs dengan gaji 3.000 franc per bulan.

Setelah mengantarkan timnya menjuarai kompetisi domestik pada 1937-38, Benbarek pun berlabuh di Marseille pada 28 Juni 1938. “Di klub ini, kamu bermain sebagai striker,” bilang Eisenhoffer kepada Benbarek.

Di klub barunya itu, Benbarek mendapatkan julukan “Perle Noir” atau “Mutiara Hitam”. Julukan itu diberikan fans L’OM lantaran melihat kulit Benbarek yang lebih menyerupai orang Senegal dibandingkan Maroko.

Meski berbau rasialis, julukan itu justru menjadi pembuktian Benbarek yang sesungguhnya. Dia menjadi idola di Marseille lantaran kemampuan dribble serta gol-golnya.

Pada laga debutnya, 24 November 1938, menghadapi Racing Paris, Benbarek mengejutkan publik Prancis. Dia beberapa kali mengelabui Auguste Jordan, pilar timnas Prancis. Dia menyumbang dua dari lima gol kemenangan timnya atas Paris. Meski klub yang ditaklukkan 2-5 itu menawar 150 ribu franc, Marseille tak menggubrisnya.

Sayangnya, Benbarek gagal mempersembahkan gelar bagi Marseille. Pada laga pamungkas melawan Strasbourg, Marseille takluk 0-1. Benbarek yang cedera kepala pada laga itu harus puas dengan status peringkat kedua.

MENOLAK MAIN

Usai Perang Dunia II, Benbarek diikat oleh Stade Francais. Dari sejumlah sumber, disebutkan transfer Benbarek saat itu mencapai satu juta franc dan menjadi rekor saat itu.

Benbarek menjadi idola baru di klub barunya. Dia membawa timnya finis Ligue 2 sehingga berhak promosi ke Ligue 1.

Euforia menyambut penampilan di kasta tertinggi Liga Prancis begitu tinggi. Pada laga pertama Ligue 1 musim 1946-47, kandang Stade Francais penuh sesak. Para penonton dan pemain begitu bersemangat. Tapi, tak ada sosok Benbarek saat itu.

“Ini bulan Ramadan,” demikian bunyi telegram Benbarek kepada ofisial klub soal ketidakhadirannya.

Pihak klub memaklumi Benbarek. Saat Ramadan berakhir, Benbarek kembali tim sebelum hijrah pada musim panas 1948.

DIPOLES HERRERA

Tampil produktif bersama klub yang kini berkutat di Divisi Amatir Le Championnat itu, membuat Benbarek dipikat Atletico Madrid. Pada 1948, dia berlabuh di rival sekota Real Madrid itu dengan nilai transfer 8 juta franc.

Kepindahan ke Atletico itu bukan tanpa kendala. Saat itu, Los Rojiblancos merupakan klub yang dipuja Jenderal Franco, diktator Spanyol – sebelum beralih dukungan ke Madrid pada 1950-an. Franco sejatinya tak terlalu suka ada pemain Eropa lain yang bermain di Spanyol. Terlebih berasal dari Prancis yang sempat bersitegang soal Maroko. Akan tetapi, aksi Benbarek meluluhkan sikap keras sang jenderal.

Pada musim pertama Benbarek di Spanyol, Atletico memang hanya finis di posisi keempat di belakang Barcelona, Valencia, dan Madrid. Tapi pada musim berikutnya, Benbarek mempersembahkan trofi La Liga pertama bagi klubnya.

Salah satu faktor yang membuat Benbarek bisa langsung menyatu dengan Atletico adalah keberadaan Helenio Herrera di kursi pelatih. Pria asal Argentina yang lebih tua empat tahun dari Benbarek itu paham dengan bahasa dan kultur Prancis lantaran pernah bermain dan melatih di Stade Francais. Herrera jualah yang memboyong kembali Benbarek dari Afrika.

Di Spanyol, julukan Benbarek tak berubah. Tetap “Perla Negra”. Tapi, dia mempunyai beberapa julukan lain seperti “El Prodigio”. Ada juga yang menyebutnya “Si Kaki Tuhan” lantaran kelincahannya.

“MENGKHIANATI” MAROKO

Penampilan apik di klub membuat Benbarek dipanggil ke skuad Prancis. Mengapa Prancis? Sebab, Maroko belum memiliki asosiasi sepak bola independen hingga 1955.

Debutnya berseragam Les Bleus terjadi pada 4 Desember 1938. Prancis kalah 0-1 dari juara dunia Italia.

Pada 22 Januari 1939, Benbarek menjalani laga kedua bersama timnas. Menghadapi Polandia di Parc des Princes, dia menyumbang tiga dari empat gol kemenangan negaranya.

Karier Benbarek di timnas pun tak mulus. Beberapa kali dia mengalami penolakan. Namun, berkali-kali jua dia dipanggil kembali ke Les Bleus setelah pelatih mendapatkan tekanan publik. Tapi, dia sama sekali tak bermain pada laga kompetitif.

Pada 7 Oktober 1954, Benbarek tampil pada laga amal penggalangan dana korban gempa bumi Aljazair yang menewaskan hampir 1.500 jiwa. Pertandingan itu mempertemukan timnas Prancis yang tampil di Piala Dunia 1954 melawan tim dengan panji Afrika Utara. Benbarek yang membela Afrika Utara harus mengakui keunggulan Les Bleus dengan skor 3-2.

Penampilan Benbarek yang telah berusia 40 tahun pada laga amal itu membuat publik Prancis memaksa pelatih Jules Bigot memanggilnya ke timnas. Kariernya di timnas sepanjang 15 tahun 10 bulan dengan 19 penampilan dan tiga gol ditutup pada 17 Oktober 1954. Menghadapi juara dunia Jerman Barat di Hannover, Benbarek tak berkutik lantaran hanya tampil setengah jam sebelum cedera.

Benbarek akhirnya bisa “membela” Maroko pada 1957. Dia menjadi pelatih pertama negara tersebut, dua tahun setelah Asosiasi Sepak Bola Maroko (FRMF) berdiri.

TUHAN SEPAK BOLA

Selepas dari Atletico, Benbarek yang telah berusia 39 tahun kembali ke Marseille pada 1953. Kepindahannya juga buah ketidaksengajaan. Pada Desember 1953 ketika mengikuti kursus kepelatihan di Paris, dia bertemu dengan Jean Robin, pelatih Marseille.

Juni 1955 menjadi akhir perjalanan Benbarek di Eropa. Dia kembali ke Negeri Maghribi. Sempat membela klub Aljazair, Sidi Bel Abbes, Benbarek akhirnya memutuskan mundur dari lapangan hijau ketika ditunjuk menjadi pelatih timnas Maroko untuk jangka waktu yang singkat.

Pada pertandingan antarnegara Arab 1957, Benbarek membawa Maroko menjadi juara. Dia kembali lagi melatih timnas pada 1960 namun kemudian dipecat oleh FRMF.

Pada 1967, dia sempat ditawari melatih Sidi Bel Abbes, tapi tak sukses. Setelah itu, dia benar-benar mundur dari gelanggang sepak bola.

Baru pada 1973, Benbarek kembali ke lapangan hijau pada laga reuni. Maret 1975, dia tampil pada laga seremonial di Casablanca menghadapi juara dunia tiga kali, Brasil. Benbarek yang sudah berusia 51 tahun menghadapi raja sepak bola, Pele, yang lebih muda 16 tahun.

Usai laga, Pele memberikan medali emas dan kostum Santos bernomor 10 kepada Benbarek. “Jika saya adalah raja sepak bola, Benbarek merupakan tuhannya,” sanjung Pele.

AKHIR TRAGIS

Kehidupan pascapensiun Benbarek sangatlah jauh dari mewah. Air mata dan kesendirian lebih sering menghampirinya. Terutama setelah ditinggal Louisette, sang istri, yang telah menemaninya 26 tahun pada 1976.

Kegemilangan Benbarek seolah mulai terlupakan. Pada 1982, keinginan Benbarek menyaksikan laga Piala Dunia di Spanyol tak mendapatkan dukungan dari FRMF maupun pemerintah Maroko.
Piala Afrika 1988 yang dilangsungkan di Maroko pun melupakan sosok sang legenda. Tak ada nama Benbarek dalam daftar tamu kehormatan.

Sikap berbeda justru diterima Benbarek dari negara lain. Pada peringatan 30 tahun Asosiasi Sepak Bola Aljazair (FLN), Sang “Mutiara Hitam” menyediakan karpet merah. Di Aljazair jualah dia seharusnya mendapatkan penghargaan dari Federasi Sepak Bola Afrika (CAF) atas jasa-jasanya. Tapi, dia batal hadir karena FRMF lupa menyiapkan dokumen imigrasinya.

Pada 16 September 1992, Benbarek ditemukan meninggal di kamar tidurnya. Ironis lantaran hasil visum membuktikan bahwa dia telah wafat tiga hari. Sebuah akhir tragis bagi “Tuhan Sepak Bola”.

FIFA pun seolah alpa memberikan penghargaan khusus. Baru delapan tahun setelah kematiannya, Benbarek mendapatkan penghargaan tertinggi dari otoritas sepak bola dunia itu.