“Love your job but don’t love your company. Because you may not know when your company stops loving you.” (Dr. Abdul Karim)

Sebuah petikan yang menarik. Saya pun cukup setuju dengan pernyataan sang doktor.

Cukup setuju? Yup, saya cukup mengatakan cukup. Untuk mengatakan sepenuhnya setuju, saya menggelengkan kepala.

Mungkin ada beberapa contoh untuk membuktikan bahwa pernyataan itu tak sepenuhnya benar. (Saya pun tak pantas dijadikan contoh karena saya tipe penakut mengambil risiko atau istilah kerennya risk averse).

Tapi, ada beberapa orang yang setia dengan pekerjaan dan perusahaan tempatnya bekerja. Salah satunya adalah S.

Di tempatnya bekerja, sudah beberapa kali S mendapatkan perlakuan yang dianggapnya tidak adil, setidaknya menurut pendapat dia. Tapi, pada akhirnya, dia selalu mengalah.

“Aku sudah terlalu cinta,” tutur dia. Padahal, dia bisa saja pindah mengingat kemampuannya yang menurut saya luar biasa, pantas menjadi pakar di bidangnya.

Demikian pula dengan sepupu saya yang bernama G (Hahaha pasti bingung, karena 12 dari 21 sepupu saya berawal dari G) yang bekerja di salah satu BUMN.

Berstatus salah satu lulusan terbaik dari universitas negeri terkemuka, dia sempat mendapatkan tawaran dari sejumlah kompetitor tempatnya bekerja.

“Saya dibesarkan oleh perusahaan ini. Jika saya keluar, apa yang bisa saya sombongkan? Sudahkah saya bisa dianggap menjadi ahli di bidangnya? Belum tentu. Masih banyak orang di luar sana yang pasti jauh lebih baik dari saya,” tutur dia.

Terlihat G tidak berambisi dan takut mengambil risiko? Mungkin saja. Tapi, satu yang saya gariskan adalah kerendah hatian dia.

Saya menganggap dia merupakan pakar di bidangnya. Sejumlah penghargaan diterimanya. Tapi, dia menilai itu belumlah membuatnya pantas untuk dianggap menjadi pakar.

Mencintai pekerjaan memang bukan berarti mencintai perusahaan tempat memberikan kerja. Itu pernyataan Dr. Abdul Karim.  Tapi, saya pun punya kutipan buatan sendiri soal pekerjaan.

“Pekerjaan itu sama seperti pacar, istri, atau pasangan hidup. Kalau ada yang lebih cantik dan menawarkan kepuasan lebih baik, kenapa tidak ganti? Kecuali, kamu sudah cinta dengan pasangan hidup kamu yang sekarang!”

Kutipan ngawur ala saya itu mungkin menjelaskan mengapa S dan G tetap bertahan, bagaimanapun “jeleknya tampang” tempat kerjanya saat ini dan godaan yang muncul di luar sana.

Analogi pada kutipan saya itu pun saya temui dari salah satu pengusaha yang konon merupakan salah satu dari tujuh naga di Asia, F yang biasa disebut CF atau FT.

F punya istri pertama. Namun, laiknya pria berduit, dia kerap berganti pacar. Beberapa kali perempuan selebriti digandengnya, entah sepengetahuan sang istri atau tidak.

Istri pertama F tak ubahnya hidup di menara gading. Tapi, tak ada hasrat dari F untuk menceraikannya.

“Saya bisa sukses seperti ini karena dia. Dialah sumber keberuntungan saya,” tutur F dalam sebuah kesempatan kala saya menyambangi rumah dia untuk bertemu anaknya, yang merupakan teman main.

Istri pertama merupakan sumber keberuntungan dan awal kesuksesan F. Hal itu pun tampaknya dirasakan G yang menganggap BUMN tempatnya bekerja sebagai “istri pertamanya” sebagai biang kesuksesan.

Cinta pada profesi memang bukan berarti cinta pada pekerjaan tempat kita bekerja. Tapi, ada benang merah di antara dua hal itu.  Demikian pyla dalam hal hidup berpasangan.

Lalu, boolehkah kita bermain api tapi tanpa melupakan pasangan hidup yang utama? Hmmm… #eh