Kerusuhan tampaknya tak bisa dipisahkan dari sepak bola Indonesia. Sering sekali terdengar keributan di sebuah kota atau saling serang antarsuporter di kota yang lainnya.

Pangkal permasalahannya memang beragam. Mulai dari ketidakpuasan kepada PSSI, wasit, pemain, hingga keributan yang dipicu ulah suporter.

Saya coba melihat dari penyebab terakhir. Ulah suporter. Sudah menjadi rahasia umum jika kelompok suporter di Indosesia itu terdiri atas beberapa kubu yang berseberangan.

Satu kubu berisikan beberapa komunitas. Satu komunitas bisa benci ke komunitas yang lain hanya karena merasa sepenanggungan dengan rekan satu kubunya yang memang bermusuhan.

Fans Arema Indonesia dan Persija Jakarta saling menghormati. (Foto: jalu/SOCCER)

Prinsipnya, musuh kawanmu adalah musuhmu, musuh dari sahabatmu adalah musuhmu, sahabat dari musuhmu adalah musuhmu, dan musuh dari musuhmu adalah sahabatmu.

Atas nama komunitas itu, saya lalu melihat ada deviasi dari fanatisme yang ditunjukkan fans kepada tim kesayangannya. Ketika keributan terjadi, apa sih yang merek dukung? Tim kesayangan ataukah harga diri sebagai sebuah komunitas fans sebuah klub?

Sebuah komunitas yang awalnya bertujuan untuk menggalang kebersamaan antarfans yang mempunyai tim kesayangan sama, seringkali justru jadi sumbu perpecahan.

Datanglah ke salah satu pertandingan sepak bola di tanah air, klub mana saja terserah asal punya suporter fanatik yang juga punya “musuh”. Dengarkanlah yel-yel lagu mereka.

Dukungan kepada klub kesayangan tentu saja ada. Tapi, tak jarang pula ada nyanyian yang berisi makian kepada komunitas fans yang menjadi musuhnya.

Kondisi itulah yang menjadi pemancing keributan ketika kedua kubu suporter bertemu. Akibat besarnya, kadang seorang fans tak bisa mendukung tim kesayangannya saat melakukan lawatan tandang ke klub yang komunitas suporternya bermusuhan.

Keadaan itu jelas sebuah kemunduran. Mengingat, kala masih zaman Perserikatan dengan belum adanya organisasi khusus suporter sebuah klub, sangat jarang terlihat keributan yang dipicu oleh fans. Paling banter keributan antarpemain atau pemain yang tidak puas dengan putusan wasit.

Jika sudah begini, salahkah adanya kelompok suporter di Indonesia? Jawabannya tergantung kepada pribadi masing-masing. Jangan sampai terjadi fanatisme sempit atau chauvinisme.

Perbedaan dalam sepak bola adalah hal yang wajar. Hal itu justru membuat dunia lapangan hijau kian berwarna. Kebebasan dalam berekspresi memang menjadi hak azasi manusia. Tapi, kebebasan itu pun tetaplah harus bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai kebablasan.

Kedewasaan dan kesadaran sikap memang masih belum merata di seluruh kalangan suporter di Indonesia. Seorang atau sekelompok fans seharusnya menjadi pendukung yang memberikan dampak positif bagi klub kesayangannya. Tindakan yang anarkis dan rasis tentunya akan merugikan diri sendiri juga klub yang didukung.

Tak perlu muluk-muluk untuk mengubah citra sepak bola negeri ini. Mulailah dari sendiri. Cobalah jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ke diri sendiri.

Sudahkan Kamu bersikap dewasa dalam mendukung tim kesayanganmu? Sudahkah Kamu bisa menghargai instrumen lain dalam sepak bola, lengkap dengan tugas dan fungsinya?

Jika jawabannya sudah, tanyakanlah pertanyaan itu kepada rekan satu komunitas fans denganmu. Teruskanlah reaksi berantai itu dan rasakan manfaatnya ketika seluruh fans sepak bola di tanah air sudah bisa bersikap dewasa.