“I really have no desire to make everyone happy…” – Juergen Klinsmann

Salah satu kesalahan terbesar manusia adalah mencoba untuk menyenangkan semua pihak. Googling saja dengan keyword “we can’t make everyone happy”, maka akan muncul sejumlah quotation menarik terkait hal tersebut.

Salah satunya adalah, “I don’t know the key to success but the key to failure is trying to please everybody.”

Prinsip “ingin membuat semua orang bahagia” itu tampaknya sempat dimiliki oleh Claudio Ranieri. Ketika masih melatih Chelsea, Ranieri kerap melakukan perombakan formasi dan susunan pemain.

Tujuan dia cuma satu. Melatih di klub dengan skuad multinasional dengan banyak ego bersatu, Ranieri ingin semua pemain Chelseasenang karena mendapatkan kesempatan bermain yang adil – ingat adil bukan berarti sama dalam jumlah.

Julukan The Tinkerman muncul karena kebiasaan Ranieri itu. Sampai-sampai, istilah tersebut masuk salah satu kamus di Inggris untuk merujuk pada pelatih yang suka menggonta-ganti formasi dan susunan pemain.

“Saya senang ketika suporter senang. Ketika pemain senang, pemilik klub pun akan serasa berada di bulan,” ujar Ranieri ketika masih melatih Chelsea.

Akan tetapi, keinginan Ranieri untuk membahagiakan semua pemain itu tak menyenangkan bagi Roman Abramovich, pemilik Chelsea. Finis sebagai peringkat kedua dianggap tak cukup bagi Chelsea dan Abramovich yang telah mengeluarkan dana besar untuk transfer.

Abramovich pun memecat Ranieri. Taipan asal Rusia itu mengatakan Ranieri takkan pernah menjadi juara liga. Julukan Mr. Runner-up dianggap sebagai tabu sepanjang kiprah Ranieri sebagai pelatih.

Tak ada lagi The Tinkerman

Tabu itu akhirnya tercabut pada Senin, 2 Mei 2016. Leicester City yang dilatih Ranieri berhasil membalikkan prediksi banyak pengamat dan pencinta sepak bola dengan menjuarai Premier League, kasta teratas Liga Inggris.

Ada kelegaan dari Ranieri dengan keberhasilan Leicester menjadi juara liga. “Ada perasaan luar biasa. Seperti orang lain di sini, saya juga ikut merasakan kebahagiaan,” ucap dia.

Julukan The Tinkerman pun mulai dilupakan dan kini malah ditambahkan huruf “H” menjadi The Thinkerman. Ya, Ranieri kini lebih bermain analisis ketimbang berupaya membuat semua pemain di timnya bahagia.

Hal itu dilihat dari pemilihan taktik dan pemain Leicester musim ini. Berdasar Whoscored, Ranieri memasang formasi 4-4-2 dalam 32 dari 36 pertandingan Premier League musim ini.

Dari jumlah pertandingan sebanyak itu, hanya 16 pemain yang mendapatkan kesempatan bermain lebih dari 10 pertandingan.

Bandingkan dengan pemilihan pemain Ranieri pada 2003-2004, musim terakhirnya di Chelsea. Ketika itu, ada 21 pemain dengan kesempatan bermain lebih dari 10 kali, 17 di antaranya malah bermain lebih dari 20 kali.

Ranieri tentu belajar dari kegagalan dia pada masa lalu. Alih-alih ingin menyenangkan semua pemain, dia lebih memilih “memaksa” para pemain utamanya untuk selalu bekerja keras dan dimainkan sebisa mungkin.

Dari segi taktik, Ranieri juga mengesampingkan pola pikir menyenangkan semua orang. Gaya bermain pragmatis dan mengandalkan serangan balik mungkin tidak disukai sebagian besar pencinta sepak bola.

Bayangkan saja, dari 22 pertandingan Premier League yang dimenangi, sebanyak 19 laga di antaranya Leicester kalah dari segi penguasaan bola.

Akan tetapi, kalah dalam hal permainan indah dan penguasaan bola itu menjadi tidak penting dengan hasil akhir yang didapat Leicester.

“It is not the strong one that wins, the one that wins is strong.” – Franz Beckenbauer

Pragmatis tidak haram

Gaya bermain pragmatis memang seolah menjadi hal yang dibenci oleh pencinta sepak bola yang mengedepankan permainan indah.

Publik tentu lebih senang melihat gaya permainan dari kaki ke kaki di Arsenal sejak dilatih oleh Arsene Wenger. Begitu juga dengan permainan tiki-taka ala pelatih Josep Guardiola, terutama saat menukangi Barcelona.

Puja dan puji pun mengalir terhadap anak-anak asuhan Guardiola. Apalagi, selain bermain indah, mereka pun meraih sejumlah trofi bergengsi, bahkan 6 di antaranya terjadi pada tahun kalender yang sama.

Idealnya memang sepak bola bisa memberikan kebahagiaan bagi semua orang. Namun, tidak semua orang bisa dibahagiakan pada saat bersamaan. Ketika Barcelona menjadi juara, tentu suporter Real Madridmenjadi pihak yang paling merasakan tidak bahagia.

Ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak bisa membahagiakan semua orang. Salah satunya keterbatasan sumber daya. Bukankah tak mungkin kita selalu membantu semua orang yang membutuhkan ketika kita pun punya keterbatasan kemampuan?

Namun, bukan berarti keterbatasan itu menjadi penghalang bagi kita dalam membahagiakan orang lain. Dengan memiliki keterbatasan, kita tentu akan memilih berdasar skala prioritas siapa yang membutuhkan kebahagiaan dari kita.

Seorang kepala rumah tangga, pasti akan lebih mendahulukan keluarga intinya untuk dibahagiakan, baru keluarga besar dan teman-temannya. Seorang pelatih sepak bola, tentu menempatkan suporter yang senantiasa memberi dukungan dalam setiap kesempatan sebagai prioritas utama.

Karena hal itulah, permainan pragmatis muncul. Sadar keterbatasan dengan kemampuan yang dimiliki timnya, seorang pelatih akan mengandalkan segala cara – selama tidak bertentangan dengan law of the game – agar timnya meraih kemenangan.

Ambil contoh Yunani saat menjadi juara Piala Eropa 2004. Otto Rehhagel paham bahwa Angelos Charisteas dkk kalah dari segi kemampuan individu dari skuad tim-tim besar Eropa. Namun, Yunani punya semnangat juang tinggi khas orang-orang Sparta.

Hal itulah yang dimanfaatkan Rehhagel. Dia membangun timnya berdasar pada kekokohan lini pertahanan. Kemampuan menyerang sehebat apa pun, akan selalu bisa diimbangi oleh lini pertahanan yang memiliki semangat juang tinggi, selalu fokus, dan selalu berupaya meminimalkan kesalahan.

Begitu juga dengan Jose Mourinho pada periode keduanya bersama Chelsea. Saat menjuarai Premier League 2014-2015, permainan The Blues mungkin tidak menarik dilihat karena monoton, pragmatis, dan cenderung “parkir bus” ketika sudah unggul.

Hal yang sama dilakukan Atletico Madrid di bawah Diego Simeone. Bagi sebagian orang, taktik Simeone ketika menghadapi tim besar dianggap “cupu” sehingga membuat pertandingan tidak menarik ditonton.

Akan tetapi, it works. Lihat saja ketika Atletico menyisihkan Bayern Muenchen dengan Guardiola sang dewa permainan indah di kursi pelatih pada semifinal Liga Champions 2015-2016. Bayern selalu lebih mendominasi, tetapi justru Atletico – dengan penguasaan bola sekitar 30 persen – yang bisa melangkah ke final.

“I won’t say we have to win. I won’t put that pressure. But we can’t lose.” – Jose Mourinho

Kebahagiaan suporter

Salahkah Rehhagel, Mourinho, dan Simeone? Tentu tidak. Mereka mengantarkan timnya meraih kemenangan dan kejayaan. Bukankah kemenangan yang memang dicari dari sebuah pertandingan?

Kemenangan itu pun berdampak pada kebahagiaan orang lain. Rakyat Yunani bergembira ketika Charisteas dkk menjadi juara Eropa pada saat negaranya tengah mengalami krisis moneter dan perpecahan.

“Luar biasa sekali apa yang telah dilakukan tim nasional sepak bola Yunani. Kami bisa menyatukan negeri, hal yang sama sekali tak bisa dilakukan para politikus di negara ini,” kata Rehhagel.

Mourinho dan Simeone juga telah memberikan kebahagiaan bagi suporter Chelsea dan Atletico. Hal itu sudah cukup karena memang untuk suporterlah sebuah tim sepak bola berjuang untuk mencari kejayaan.

Perkara ada pihak yang tak suka dengan gaya bermain mereka dalam mencapai kejayaan, itu bukan persoalan bagi Mourinho dan Simeone. Menyenangkan manajemen dan pengurus adalah tugas mereka, bukan membahagiakan pencinta sepak bola kebanyakan.

“You can’t always please everybody but you can do what makes you happy and just hope that those around you will be happy for you.” – Robert Tew

Artikel ini tayang di Kompas.com dengan judul yang sama pada 4 Mei 2016.