Sudah beberapa kali saya mendapatkan email dan membaca soal anak kecil yang rela mengeluarkan uang celengannya demi bisa bermain bersama ayahnya selama 30 menit. Sebuah cerita yang bisa membuat hati ini terenyuh.

Tapi, baru sekadar terenyuh. Hingga kejadian yang hampir mirip terjadi pada diri saya, selama libur lebaran ini.


Sudah menjadi bagian dari profesi, saya selalu melakukan update berita, kendati sedang berlibur. Maklum, tuntutan bekerja di media online membuat saya tak boleh lengah akan kehadiran berita demi memanjakan para pembaca dan audiens setia.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya – saat telah menikah, lebaran kali ini saya merayakannya di rumah orangtua. Maklum, mertua sedang melakukan “kunjungan kerja” ke kakak ipar yang melahirkan di pulau seberang sehingga tak berlebaran di Bandung.

Singkat cerita, saya melakukan update berita setiap sepertiga malam kedua dan ketiga. Sebab, sepertiga malam pertama, laptop pasti dikuasai anak saya yang baru berusia 2 tahun 9 bulan. “Ayah mau main Thomas” atau “Kaka mau nulis-nulis” adalah kata rayuan dia setiap ingin menggunakan laptop.

Saya sedikit terharu juga melihat perjuangan dia “meminjam” laptop. Pada hari kedua lebaran, saat malam minggu, dia rela menunggu giliran untuk bermain dengan laptop hingga tak tidur cepat, padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.

Saya pun tak kuasa melihat kegigihan dia. Hingga akhirnya saya meminta rekan saya untuk melakukan update berita sendiri selama 1-2 jam, ketika laptop digunakan oleh anak.


Minggu, saya kembali ke rumah mertua. Seperti biasa, saya hendak melakukan update berita malam harinya. Saya kemudian mencari modem yang sudah menjadi alat kerja selama liburan.

Kasak-kusuk di tas laptop, modem tidak ada. Dicari ke tempat anak saya bermain laptop terakhir kalinya pada sore hari juga tidak ada. Dengan sedikit tak enak hati, saya minta ke rekan saya untuk gantian jadwal piket. Saya akan update pada keesokan harinya, ketika modem sudah ditemukan.

Saya berpikir, modem tertinggal di rumah orangtua. Sebab, terakhir kali saya online adalah saat minggu dini hari.

Senin siang, saya kembali berkunjung ke orangtua. Saya pun bergerilya dan melakukan operasi semut untuk menemukan modem itu di kamar. Tidak ada juga. Segala sudut ruangan dan rumah dicari, tetap tidak ada.

Putus asa, saya sempat tak enak untuk meminta rekan saya kembali piket untuk menggantikan saya. Tapi kemudian, istri melontarkan pernyataan yang masuk akal. “Mungkin sama kaka diumpetin, Yah?” bilangnya.

Sebuah hal yang sebelumnya tak terpikirkan. Sebab, bagaimana mungkin menyanyakan modem kepada anak yang belum genap berusia 3 tahun.

Lantaran “tidak terima” dengan usulan istri, saya langsung mencoba menanyakan kepada kakak dari istri yang ada di rumah mertua. Dia diminta saya untuk mengecek tempat “harta karun” kaka, bagasi mobil jipnya. Nihil!

Well, saya pun kemudian melakukan usulan istri saya. Ketika anak sedang asyik bermain, saya kemudian bertanya. “Kaka, tau modem ayah?”

“Modem?” balas anak saya sambil mendelik. “Itu lho Kak… Kotak putih dengan kabel panjang buat ayah kerja,” jelas saya.

“Tau,” jawabnya lagi. “Kaka sembunyiin di mana?” tanya saya lagi. “Di rumah Enin (mertua),” tanggap dia.

Problem mulai sedikit terungkap. Modem ada di rumah mertua. Meski belum puas, saya cukup senang dengan jawaban anak saya.

“Kok Kaka gitu?” tanyaku. “Ayah kerja mulu sih…” jawab dia.

Mendengar jawaban itu, istri, kakak-kakak, keponakan, dan ibu saya tertawa tergelak-gelak. Saya pun tertawa, cuma hambar. Jawaban anak saya itu membuat saya merasa senang bercampur sedih terhadap diri sendiri.

Senang karena telah mendidik anak hingga sepintar itu. Bisa mengoperasikan laptop – mulai dari menyalakan, memasang mouse, memilih game yang disukai, hingga mematikannya. Hal yang tak bisa dilakukan oleh Oma dan Enin dia.

Menyembunyikan modem pun terbilang langkah cerdas. Si Kaka tahu, karena modemlah yang menjadi senjata utama ayahnya bekerja di rumah.

Namun, saya juga sedih. Sedih karena ternyata saya telah membuat anak saya kecewa. Usaha dia melakukan penyembunyian itu tentu karena ingin ayahnya enggak sibuk bekerja. Atau tidak, dia ingin bermain laptop dengan ayahnya, tanpa terganggu oleh pekerjaan.

Ketika kembali ke rumah mertua, saya kemudian mencari. Kali ini pencarian lebih intensif dilakukan. Setelah beberapa lama, saya menemukan modem terselip di antara lipatan kursi.

Ketika saya menunjukkan modem itu kepada dirinya, Si Kaka menunjukkan raut wajah kaget bercampur kecewa, bisa jadi. Dia mungkin tak mengira usahanya menyembunyikan modem sia-sia. Tapi karena sudah terlalu lelah akibat bermain seharian, dia lantas memilih tidur bersama Oomnya.

Untuk yang terakhir, saya tak terlalu kecewa. Tapi, seluruh kejadian yang terjadi seputar modem, membuat saya seolah ditampar dua kali agar kembali sadar.

Tamparan pertama terkait dengan sikap meremehkan saya bertanya kepada anak kecil. Padahal, novel favorit saya adalah “Celestine Prophecy”. Dan, 8th insight dari novel itu adalah tentang “The Interpersonal Ethic”, termasuk berkomunikasi dengan anak kecil. Jangan pernah tidak menganggap ucapan seorang anak kecil. Sebab, ucapan anak kecil tentu lebih murni.

Tamparan kedua tentunya terkait ucapan dia yang mengatakan, “Ayah kerja mulu sih…”. Itu memperingatkan saya jika Si Kaka kangen untuk main bareng ayahnya yang cuma bertemu seminggu sekali. Kegigihan dia untuk terjaga hingga tengah malam adalah salah satu bukti kuatnya.

Saya pun terdiam dan tertegun saat malam, usai modem ditemukan. Seorang anak berusia 2 tahun 9 bulan, sudah punya cara sendiri untuk melakukan protes.

“I love you, Kaka…”

Bandung-Jakarta, 14 September 2010